Stop Narasi Kriminalisasi dan Dizalimi

BEBERAPA saat setelah Menteri Kominfo Johnny Gerard Plate (JGP) yang juga Sekjen DPP Partai NasDem ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi BAKTI Kominfo. Ketum Partai NasDem Surya Paloh (SP) langsung bereaksi dengan menyinggung intervensi politik dan kekuasaan.

BEBERAPA saat setelah Menteri Kominfo Johnny Gerard Plate (JGP) yang juga Sekjen DPP Partai NasDem ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi BAKTI Kominfo. Ketum Partai NasDem Surya Paloh (SP) langsung bereaksi dengan menyinggung intervensi politik dan kekuasaan.

SP menyinggung hukum alam jika benar penetapan tersangka terhadap JGP tersebut tidak terlepas dari intervensi politik dan kekuasaan. Namun, SP menyatakan bahwa NasDem tetap menghormati segala proses hukum terhadap JGP.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (MMD) pun lantas menjelaskan, penetapan tersangka dan penahanan kepada JGP yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) harus dipahami bukan hanya sesuai hukum, tetapi keharusan hukum. Kasus tersebut sudah cukup lama digarap oleh Kejaksaan dengan sangat hati-hati.

MMD menjelaskan bahwa kasus tersebut sudah diselidiki dan disidik dengan cermat karena selalu beririsan dengan tudingan politisasi. Menurut MMD, jika keliru sedikit saja, bisa dituduh politisasi hukum di tahun politik.

“Kalau tidak yakin dengan minimal dua alat bukti yang cukup, Kejagung tidak akan menjadikan siapa pun sebagai tersangka. Akan tetapi, jika sudah ada dua alat bukti yang cukup kuat dan masih ditunda-tunda dengan alasan untuk menjaga kondusifitas politik, maka itu bertentangan dengan hukum. Sebab, jika sudah cukup dua alat bukti, memang sudah seharusnya status hukumnya ditingkatkan,” tutur MMD.

Pascakasus JGP ini, publik kemudian disuguhi narasi ‘kriminalisasi’. Narasi khas politisi setiap kali terjerat kasus korupsi. Muncul juga narasi bahwa kasus ini berhubungan dengan sikap NasDem yang mendukung capres antitesa Jokowi, yakni Anies Rasyid Baswedan (ARB). Kata ‘kriminalisasi dan dizalimi’ akan dilekatkan pada kasus ini demi mendapat simpati publik.

Sejak kader NasDem diganti dari jaksa agung, SP sudah mulai menunjukkan sikap ‘berbeda’ kepada Jokowi. Terutama setelah diketahui bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah adik kandung dari politisi PDIP, TB Hasanuddin. Padahal ST Burhanuddin sendiri bukan anggota maupun kader PDIP.

ST Burhanuddin yang pernah menjadi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) pada 2011-2014 dituding tidak mewakili profesional hanya karena adik dari TB Hasanuddin. NasDem pun akhirnya perang dingin dengan PDIP yang dianggap mengambil ‘jatah’ jaksa agung.

Jika ada tudingan kriminalisasi NasDem kepada Kejagung akibat kasus korupsi yang menjerat JGP, maka semua kasus korupsi yang menjerat seluruh politisi selama HM Prasetyo (politisi NasDem) sebagai Jaksa Agung pun tentunya harus disebut juga kriminalisasi. Sehingga ketika banyak pihak menduga bahwa NasDem memeroleh peningkatan suara signifikan di Pemilu 2019, itu karena sejumlah kepala daerah yang diduga sedang diselidiki Kejagung di ‘NasDem’, kan bisa jadi ternyata benar.

Tudingan terhadap Kejagung yang dilontarkan NasDem menjadi bukti bahwa Kejagung dapat digunakan untuk kepentingan politik jika Jaksa Agung-nya kader partai. Akibatnya Kejagung akan mengalami degradasi nilai. Hukum akan kehilangan kewibawaan akibat politisi selalu mengaitkan kasus pidana dengan politik.

NasDem memikul beban berat atas peristiwa ini. Sebab sebagai partai baru tentu tidak mudah bagi NasDem menerima kenyataan bahwa dua kali sekjen-nya, yakni Patrice Rio Capella dan JGP tersangkut kasus korupsi.

Untuk membantu NasDem menghadapi badai besar ini, sebaiknya posisi Sekjen DPP Partai Nasdem diserahkan kepada ARB. Menjadikan ARB
sebagai Sekjen DPP NasDem akan memudahkan koordinasi antarpartai dalam memutuskan cawapres dari koalisi perubahan dan persatuan. (oleh: Sutrisno Pangaribuan – Presidium Kongres Rakyat Nasional)

Related posts

Leave a Comment